Minggu, 01 Juni 2014

Terima Kasih, Aisyah!



Aku kembali menatap langit-langit kamarku. Aku membayangkan ending kisah novel yang baru selesai aku baca. “Oh, begini ya rasanya bahagia ketika mendapatkan sesuatu yang sudah lama ingin dimiliki?” pikirku sambil menaruh novel yang baru selesai aku baca tepat di sebelah kanan kepalaku. Sambil berbaring, aku meraih bantal guling yang ada di sebelah kiriku, aku kembali hanyut dalam pikiranku sendiri.
“Hmmm, coba saja aku menjadi seperti Nisa, tokoh utama dalam novel yang mendapatkan hadiah mobil dari orang tuanya ketika berulang tahun yang ke-17 tahun, pasti rasanya seperti gadis yang paling beruntung di dunia ini, senang tak terkira yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata,” gumamku kembali sambil berbalik arah ke kanan.
“Andai aku menjadi Nisa pasti aku akan lebih sering have fun bersama sahabat-sahabatku dengan mengendarai mobil baru itu,” ucapku dalam hati. Aku berkhayal dan terus berkhayal seakan diri ini telah terhipnotis dengan Nisa yang sangat beruntung itu.
“Za...Khanza...Khanza...!” suara Bunda mengagetkan aku yang sedang asyik berkhayal. Aku pun membuka mata dan langsung melihat Bunda yang telah ada tepat di depan mataku. Bunda langsung duduk disampingku yang merupakan anak tunggalnya.
“Za, kok kamu belum siap-siap ke Mesjid?” tanya Bunda sambil menatap aku yang sedang mencoba duduk didekatnya.
“Oh iya Bun, malam ini Khanza libur dulu ya Shalat Tarawihnya karena Khanza mau belajar buat ulangan Bahasa Inggris yang akan diadakan besok di kelas,” jawabku bohong.
“Oh kamu besok ada ulangan ya Za, ya sudah kamu belajar saja dulu!” kata Bunda kepadaku. “Padahal tidak lama kok kalau kamu mau Shalat Tarawih di Mesjid dulu bareng Bunda dan Ayah, toh nanti kamu bisa belajar setelah pulang dari Mesjid,” saran Bunda kepadaku.
“Lain kali saja ya Bunda, pasti Khanza akan Shalat Tarawih di Mesjid,” ucapku dengan yakin kepada Bunda.
“Iya Khanza, lain kali kamu harus rajin melaksanakan Shalat Tarawih di Mesjid, walaupun Shalat Tarawih itu merupakan Shalat Sunnat yang hanya ada di bulan Ramadhan, tetapi setidaknya kamu mau melaksanakannya dengan ikhlas agar kamu  mendapat berkah dari Allah SWT,” kata Bunda sambil berlalu keluar dari kamarku.
Aku tertegun mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bunda. Aku tahu aku bersalah karena telah berbohong kepadanya. Aku hanya bisa berbohong agar aku bisa tetap dirumah. Aku merasa malas untuk pergi ke Mesjid. Yang aku tahu aku hanya menjalankan puasa Ramadhan, namun aku sering lalai dalam melaksanakan Shalat 5 waktu dan Shalat Tarawih di Mesjid. Sungguh aku sangat sulit melawan rasa malas ku ini. Aku pun kembali berbaring dan akhirnya tertidur pulas.
Seperti biasa sepulang dari sekolah, sambil berjalan kaki, aku melewati rumah-rumah tetanggaku. Tanpa sengaja aku menemukan seorang gadis kecil yang sedang menangis di pinggir jalan. Gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dasar. Aku langsung menghampirinya.
“Adik kenapa menangis? Apakah Adik ada kehilangan sesuatu?” tanyaku kepadanya. Gadis kecil itu mengangkat wajahnya. Tampak air mata masih menetes di sela kedua matanya. Sambil menghapus air mata dengan tangan kecilnya, ia berkata, “Aku ingin sekali punya mukena baru, karena mukena yang lama sudah robek dan usang, tapi Ibuku tidak punya uang begitu juga dengan Ayah, padahal aku ingin sekali Shalat di Mesjid bersama teman-temanku,” jawab gadis kecil itu dengan lirih.
Aku terdiam mendengarnya. Hatiku tersentak mendengar bagian kata-kata gadis kecil itu yang ingin sekali Shalat di Mesjid bersama teman-temannya. Sungguh aku langsung teringat dengan mukena-mukenaku yang ada banyak dan bagus di rumahku. Bunda sering membelikan mukena untukku agar aku semangat melaksanakan Shalat, tetapi aku selalu saja melalaikan shalat. Aku pun selalu mencari-cari alasan, sering berbohong kepada Bunda dan Ayah ketika di ajak Shalat ke Mesjid. Aku terhanyut dalam ingatan tentang kesalahan yang telah banyak aku lakukan. Sungguh aku banyak berdosa sama Allah SWT dan orang tuaku. Tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata kanan dan kiriku. Secepatnya aku menghapusnya agar tidak membatalkan puasaku.
Aku kembali mendekati gadis kecil itu. Aku mengeluarkan tissue dan menghapus air mata gadis kecil itu. “Adik jangan menangis lagi ya, nanti kakak belikan Adik mukena baru biar Adik bisa Shalat di Mesjid bersama teman-teman Adik,” bujukku kepada gadis kecil itu agar ia tidak menangis lagi. Aku pun meraih tangan gadis kecil itu agar ia tidak duduk lagi di pinggir jalan.
“Yang benar Kak, Kakak yakin mau membelikan aku mukena baru?” tanya gadis kecil itu dengan wajah penasaran. “Iya Adik, nanti kakak belikan Adik mukena baru ya, tapi janji jangan menangis lagi di pinggir jalan seperti ini, tidak baik di lihat orang-orang,” kataku dengan yakin kepadanya.
“Sungguh Kak?” tanyanya kembali. “Iya Adik, Kakak janji kok, yang penting Adik pulang dulu ke rumah, Ok Adik!” jawabku dengan sungguh-sungguh kepadanya.
Aku mengantarkan gadis kecil itu pulang ke rumah. Ternyata rumahnya tak jauh dari rumahku. Aku mengetahui namanya adalah Siti Aisyah, sungguh nama yang indah. Gadis kecil itu masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, berbeda dengan aku yang sudah kelas 2 SMA. Aku mendapatkan pelajaran berharga dari gadis kecil ini. Walaupun usianya terbilang masih muda, tetapi ia memiliki keinginan yang besar untuk melaksanakan Shalat di Mesjid bersama teman-temannya. Sungguh aku malu kepadanya akan sikapku selama ini.
Sore itu, akhirnya aku jadi membelikannya mukena dari sebagian uang tabungku. Aku pun langsung datang ke rumahnya. Aisyah begitu senang menerima pemberianku. Ibunya Aisyah tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepadaku. Setelah Aisyah mengucapkan terima kasih, ia tersenyum senang kepadaku, “Kak, nanti malam yuk kita Shalat Tarawih bareng di Mesjid!” ajaknya kepadaku. Aku pun tersenyum mengiyakannya dan pamit kepada mereka untuk pulang ke rumahku.
Aku tak sabar ingin secepatnya sampai ke rumahku. Aku ingin berbuka puasa bersama Bunda dan Ayah. Aku ingin minta maaf sama Bunda dan Ayah. Aku tahu akan dosaku selama ini. Aku janji untuk tidak mengulanginya lagi, berbohong ataupun lalai dalam Shalat. Aku bersyukur bisa bertemu Aisyah, karena darinya aku mendapatkan hidayah di bulan Ramadhan ini. Aku benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Aku ingin lebih rajin lagi Shalat Tarawih, Witir ataupun Shalat 5 waktu di Mesjid. “Aisyah, sampai ketemu di Mesjid ya!” kataku dalam hati sambil tersenyum senang.