Aku
kembali menatap langit-langit kamarku. Aku membayangkan ending kisah novel yang baru selesai aku baca. “Oh, begini ya
rasanya bahagia ketika mendapatkan sesuatu yang sudah lama ingin dimiliki?”
pikirku sambil menaruh novel yang baru selesai aku baca tepat di sebelah kanan
kepalaku. Sambil berbaring, aku meraih bantal guling yang ada di sebelah
kiriku, aku kembali hanyut dalam pikiranku sendiri.
“Hmmm,
coba saja aku menjadi seperti Nisa, tokoh utama dalam novel yang mendapatkan
hadiah mobil dari orang tuanya ketika berulang tahun yang ke-17 tahun, pasti
rasanya seperti gadis yang paling beruntung di dunia ini, senang tak terkira
yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata,” gumamku kembali sambil berbalik
arah ke kanan.
“Andai
aku menjadi Nisa pasti aku akan lebih sering have fun bersama sahabat-sahabatku dengan mengendarai mobil baru
itu,” ucapku dalam hati. Aku berkhayal dan terus berkhayal seakan diri ini telah
terhipnotis dengan Nisa yang sangat beruntung itu.
“Za...Khanza...Khanza...!”
suara Bunda mengagetkan aku yang sedang asyik berkhayal. Aku pun membuka mata
dan langsung melihat Bunda yang telah ada tepat di depan mataku. Bunda langsung
duduk disampingku yang merupakan anak tunggalnya.
“Za,
kok kamu belum siap-siap ke Mesjid?” tanya Bunda sambil menatap aku yang sedang
mencoba duduk didekatnya.
“Oh
iya Bun, malam ini Khanza libur dulu ya Shalat Tarawihnya karena Khanza mau
belajar buat ulangan Bahasa Inggris yang akan diadakan besok di kelas,” jawabku
bohong.
“Oh
kamu besok ada ulangan ya Za, ya sudah kamu belajar saja dulu!” kata Bunda
kepadaku. “Padahal tidak lama kok kalau kamu mau Shalat Tarawih di Mesjid dulu
bareng Bunda dan Ayah, toh nanti kamu bisa belajar setelah pulang dari Mesjid,”
saran Bunda kepadaku.
“Lain
kali saja ya Bunda, pasti Khanza akan Shalat Tarawih di Mesjid,” ucapku dengan
yakin kepada Bunda.
“Iya
Khanza, lain kali kamu harus rajin melaksanakan Shalat Tarawih di Mesjid,
walaupun Shalat Tarawih itu merupakan Shalat Sunnat yang hanya ada di bulan
Ramadhan, tetapi setidaknya kamu mau melaksanakannya dengan ikhlas agar kamu mendapat berkah dari Allah SWT,” kata Bunda
sambil berlalu keluar dari kamarku.
Aku
tertegun mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Bunda. Aku tahu aku
bersalah karena telah berbohong kepadanya. Aku hanya bisa berbohong agar aku
bisa tetap dirumah. Aku merasa malas untuk pergi ke Mesjid. Yang aku tahu aku
hanya menjalankan puasa Ramadhan, namun aku sering lalai dalam melaksanakan
Shalat 5 waktu dan Shalat Tarawih di Mesjid. Sungguh aku sangat sulit melawan
rasa malas ku ini. Aku pun kembali berbaring dan akhirnya tertidur pulas.
Seperti
biasa sepulang dari sekolah, sambil berjalan kaki, aku melewati rumah-rumah
tetanggaku. Tanpa sengaja aku menemukan seorang gadis kecil yang sedang
menangis di pinggir jalan. Gadis kecil itu masih memakai seragam sekolah dasar.
Aku langsung menghampirinya.
“Adik
kenapa menangis? Apakah Adik ada kehilangan sesuatu?” tanyaku kepadanya. Gadis
kecil itu mengangkat wajahnya. Tampak air mata masih menetes di sela kedua
matanya. Sambil menghapus air mata dengan tangan kecilnya, ia berkata, “Aku
ingin sekali punya mukena baru, karena mukena yang lama sudah robek dan usang,
tapi Ibuku tidak punya uang begitu juga dengan Ayah, padahal aku ingin sekali
Shalat di Mesjid bersama teman-temanku,” jawab gadis kecil itu dengan lirih.
Aku
terdiam mendengarnya. Hatiku tersentak mendengar bagian kata-kata gadis kecil
itu yang ingin sekali Shalat di Mesjid bersama teman-temannya. Sungguh aku
langsung teringat dengan mukena-mukenaku yang ada banyak dan bagus di rumahku. Bunda
sering membelikan mukena untukku agar aku semangat melaksanakan Shalat, tetapi
aku selalu saja melalaikan shalat. Aku pun selalu mencari-cari alasan, sering
berbohong kepada Bunda dan Ayah ketika di ajak Shalat ke Mesjid. Aku terhanyut
dalam ingatan tentang kesalahan yang telah banyak aku lakukan. Sungguh aku
banyak berdosa sama Allah SWT dan orang tuaku. Tanpa terasa air mata menetes
dari pelupuk mata kanan dan kiriku. Secepatnya aku menghapusnya agar tidak
membatalkan puasaku.
Aku
kembali mendekati gadis kecil itu. Aku mengeluarkan tissue dan menghapus air mata gadis kecil itu. “Adik jangan
menangis lagi ya, nanti kakak belikan Adik mukena baru biar Adik bisa Shalat di
Mesjid bersama teman-teman Adik,” bujukku kepada gadis kecil itu agar ia tidak
menangis lagi. Aku pun meraih tangan gadis kecil itu agar ia tidak duduk lagi
di pinggir jalan.
“Yang
benar Kak, Kakak yakin mau membelikan aku mukena baru?” tanya gadis kecil itu
dengan wajah penasaran. “Iya Adik, nanti kakak belikan Adik mukena baru ya,
tapi janji jangan menangis lagi di pinggir jalan seperti ini, tidak baik di
lihat orang-orang,” kataku dengan yakin kepadanya.
“Sungguh
Kak?” tanyanya kembali. “Iya Adik, Kakak janji kok, yang penting Adik pulang
dulu ke rumah, Ok Adik!” jawabku dengan sungguh-sungguh kepadanya.
Aku
mengantarkan gadis kecil itu pulang ke rumah. Ternyata rumahnya tak jauh dari
rumahku. Aku mengetahui namanya adalah Siti Aisyah, sungguh nama yang indah.
Gadis kecil itu masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, berbeda dengan aku
yang sudah kelas 2 SMA. Aku mendapatkan pelajaran berharga dari gadis kecil
ini. Walaupun usianya terbilang masih muda, tetapi ia memiliki keinginan yang
besar untuk melaksanakan Shalat di Mesjid bersama teman-temannya. Sungguh aku malu
kepadanya akan sikapku selama ini.
Sore
itu, akhirnya aku jadi membelikannya mukena dari sebagian uang tabungku. Aku
pun langsung datang ke rumahnya. Aisyah begitu senang menerima pemberianku.
Ibunya Aisyah tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepadaku. Setelah
Aisyah mengucapkan terima kasih, ia tersenyum senang kepadaku, “Kak, nanti
malam yuk kita Shalat Tarawih bareng di Mesjid!” ajaknya kepadaku. Aku pun
tersenyum mengiyakannya dan pamit kepada mereka untuk pulang ke rumahku.
Aku
tak sabar ingin secepatnya sampai ke rumahku. Aku ingin berbuka puasa bersama
Bunda dan Ayah. Aku ingin minta maaf sama Bunda dan Ayah. Aku tahu akan dosaku
selama ini. Aku janji untuk tidak mengulanginya lagi, berbohong ataupun lalai
dalam Shalat. Aku bersyukur bisa bertemu Aisyah, karena darinya aku mendapatkan
hidayah di bulan Ramadhan ini. Aku benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik
lagi. Aku ingin lebih rajin lagi Shalat Tarawih, Witir ataupun Shalat 5 waktu
di Mesjid. “Aisyah, sampai ketemu di Mesjid ya!” kataku dalam hati sambil
tersenyum senang.